Beranda · Banjarmasin · Palangkaraya · Pangkalan Bun

Memperdaya atau Memberdayakan Hutan

Tim Hutan Lestari 2012 dari Mabes Polri berhasil mengungkap sekitar 30 pelanggaran kasus pembalakan liar. Rinciannya, enam kasus menyangkut perusahaan perkebunan, juga termasuk perambah hutan atau permasalahan yang berhubungan dengan pengelolaan hutan tanpa izin dari Menteri Kehutanan. Secara administratif juga termasuk penyalahgunaan perizinan yang diberikan.

Jujur saja, sebenarnya itu bukan berita yang pertama dan kita yakin bukan yang terakhir. Dulu-dulu sudah ada penindakan terhadap pemerdaya hutan, sekarang seperti itu dan yakin, ke depan masih akan ada orang-orang atau oknum yang memperdaya hutan. Mereka tidak berupaya maksimal untuk memberdayakan hutan sesuai dengan prinsip pengelolaan hutan yang berkeadaban.

Intinya bahwa pelanggaran terhadap pengelolaan hutan itu sudah sangat memprihatinkan dan membawa kerugian ratusan miliar rupiah bagi pemerintah, dan tentunya bagi rakyat. Sejauh ini, berbagai operasi yang dilakukan itu cenderung akan selesai begitu saja. Relatif jarang kasusnya dibawa ke pengadilan, alias “diwassalamkan”. Berbagai argumentasi bisa dijadikan alasan untuk itu.

Untuk kali ini, masyarakat menunggu kelanjutan dari perolehan razia itu. Akankah kasus ini “diwasalamkan” juga, atau akan ditindaklanjuti, nampaknya masyarakat harus menunggu dengan sabar. Apakah yang akan terkena jaring hukum kali ini rakyat kecil seperti yang selama ini distigmakan, ataukah menyentuh kalangan besar, atau kelas kakap, masih belum bisa dipastikan.

Bukan bermaksud pesimistis, kalau mengacu selama ini, tindakan para pemerdaya hutan itu nantinya akan berakhir dengan penyelesaian yang sifatnya win win solution. Dalam arti tidak ditegakkan hukum secara konsisten sesuai peraturan.

Mengingat, bagaimanapun para pengusaha bidang kehutanan itu juga memberikan manfaat, kontribusi yang tidak sedikit bagi daerah. Kendatipun kerugian yang ditimbulkan, belum lagi kesengsaraan rakyat akibat terdegradasinya kualitas lingkungan hidup juga begitu besar. Kalau dinilai bisa miliaran bahkan triliunan rupiah.

Ketika hal itu mengemuka, yang menjadi pokok soal adalah bagaimana menegakkan hukum yang terasa begitu kompleks di Kalteng, khususnya sektor kehutanan. Bahwa peraturan untuk itu sudah terasa sangat cukup, semuanya mengamini. Namun bagaimana menegakkannya itulah masalah yang kiranya menjadi perkara penting dan ganjalan besar dan sangat mendasar.

Untuk itu harusnya secara bijak dan konsisten semua pihak harus mengurai satu per satu permasalahan yang ada. Untuk mengurai permasalahan ini memang tidak bisa kalau dilakukan secara praktis pragmatis. Harusnya dilakukan secara tersistem dan terstruktur, di bawah komando yang jelas dan terarah. Mulainya tidak semata secara temporer, harus secara terstruktur dan terarah dengan parameter yang jelas pula.

Untuk mengurai karut marut, pada hilirnya mencegah munculnya kerugian yang lebih besar, harus diupayakan penyelesaian yang komprehensif. Dalam referensi hukum, hal itu menyangkut penegakan hukum tertulis, apakah itu berupa undang undang dan peraturan di bawahnya yang menjadi turunan berbagai undang undang tersebut harus secara tegas didasarkan pada ukuran yang jelas pula.

 

Empat Faktor

Uraian karutmarut itu akan bisa diatasi secara baik apabila didasarkan pada penyelesaian dari empat faktor yang secara simultan dalam arti harus bersama-sama. Pasti tanpa itu penegakan hukum tidak akan berhasil alias gagal. Adapun keempat faktor yang secara simultan arus diperhatikan dan dijadikan sebagai dasar penyelesaian itu adalah:

Pertama ketentuan dalam undang undangnya harus tegas dan jelas. Tegas dalam arti mengatur perilaku apa yang boleh dan apa yang dilarang beserta dengan sanksi yang dijatuhkan. Sanksi itu harus ditegakkan secara konsisten dan tidak boleh dipelintir, diakal-akali dan akhirnya menimbulkan ketidakpastian hukum.

Ketentuan dalam UU tentang kehutanan, UU tetang lingkungan hidup, UU tentang perkebunan dan lainnya sudah jelas. Demikian pula peraturan perundangan di bawahnya, yang merupakan turunan berbagai undang undang itu, termasuk peraturan daerah juga sudah jelas mengatur.

Sejatinya semua peraturan itu sudah secara tegas pula mengatur apa yang mesti dilakukan. Peraturan itu juga sudah tegas pula mematok saksi dan harus bagaimana jika ternyata aturan itu dilanggar. Masalahnya adalah pada penegakan peraturan itu yang ternyata tidak konsisten dilaksanakan.

Pada tahapan ini, harus diakui masih banyak kongkalikong, menerobos peraturan dengan berbagai dalih dan kepentingan. Dalam hal kepentingan itu sebagian besar adalah untuk kepentingan pribadi dan atau kepentingan golongan. Untuk itu, pada tahapan ini yang diperlukan adalah konsistensi menegakkan aturan tersebut tanpa interpretasi. Tanpa adanya kepentingan lain selain menegakkan peraturan.

Faktor kedua adalah aparat penegak hukum. Pada sektor ini kita bisa merasakan masih sangat bolongnya sektor yang berkenaan dengan aparat. Baik sari sisi jumlah maupun dari sisi keterampilan para aparat penegak hukum itu dalam melaksanakan tugasnya. Tegasnya kendala penegakan hukum kedua ini adalah masalah sumber daya manusia.

Aparat itu terbagi atas Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan kepolisian khusus kehutanan (Polhut). Koordinasi antarpenegak hukum ini belum terbilang baik. Masih banyak hal yang harus dilaksanakan sehingga koordinasi antarpenegak hukum  itu bisa sinkron. Bukan rahasia umum pada penegak hukum  itu terjadi pesaingan yang kurang sehat.

Dalam hal jumlah personal juga jangan tanya. Masih tiak sebanding antara luas areal yang harus diawasi pada satu sisi dengan jumlah personal yang mengawasi. Personal masih terlalu sedikit.

Pada level ini yang harus dilaksanakan adalah menambah personal pengawas kehutanan sehingga minimal ada jumlah yang sebanding dari aparat dengan luas areal yang harus menjadi lahan pengawasan. Ketidakseimbangan ini menyebabkan para pembalak hutan melakukan aksinya dengan sangat leluasa.

Faktor ketiga adalah sarana dan parasarana. Dimaksud dengan ini adalah sarana dan prasara yang memungkinkan para aparat pengawas kehutanan, konkretnya Polri dan Polsushut itu dapat bekerja dengan tenang. Tenang dalam arti ada logistik yang cukup, dan tenang dalam arti bahwa ketika mereka bekerja dilindungi dengan perlindungan yang memadai. Baik perlindungan fisik maun perlindungan hukum untuk mereka.

Bagaimanamau bekerja dengan baik jika penghasilan kecil, sementara medan pekerjaan begitu berat? Bagaimana mau bekerja dnegan baik jika ternyata sarana untuk mereka bertugas, sebutlah seperti mobilitas kendaraan, alat pemantau, dan sebagainya ternyata kalah canggih dengan milik pembalak liar? Bagaimana mereka bisa bekrja dengan tenang kalau ternyata kesejahteran keluarganya juga terabaikan? Bagaimana mereka tidak tergoda dengan iming iming dari pembalak liar, yang notabene bisa memberi uang lebih banyak? Sarana dan prasarana sekurangnya harus dijadikan sebagai patokan yang memadai untuk dapatnya bekerja secara optimal.

Faktor keempat adalah kondisi masyarakat Kalteng, khususnya Kotim. Masyarakat di sini mayoritas menggantungkan kehidupannya pada sektor sektor yang secara langsung atau tidak langsung berhubungan dengan hutan. Untuk itu, pola-pola kemitraan harus tetap dijalin dan dikembangkan dengan segenap kreativitas dan inovasi. Bahasa sederhananya mereka harus senantiasa diajak dan berperan serta dalam  pengelolaan hutan. Mereka tidak boleh dijadikan sebagai penonton dan diberi jarak yang lebar dengan kondisi lingkungananya. Apa lagi dimusuhi.

Keempat faktor itulah yang harusnya diperhatikan dan dilaksanakan dengan konsisten. Tesisnya pasti, bahwa tanpa itu penegakan hukum tidak akan berhasil dengan baik. Operasi yang dilaksanakan dengan biaya tidak sedikit itu tidak akan pernah efektif. Kalaupun selesai itu sifatnya hanya temporer dan segera muncul pelanggaran hukum baru. Artinya itu masalah baru.

Untuk itu yang dibutuhkan adalah konsistensi penegakan hukum. Khususnya masyarakat hendaknya tidak hanya dijadikan penonton, tetapi bertul betul diajak mengelola hutan secara optimal.

Harus disadari semua pihak bahwa hutan kita tidak untuk diperdaya tetapi untuk diberdayakan. Dalam arti dikelola secara optimal dan profesional didasarkan manajemen pengelolaan yang berkesinambungan dan tidak bertentangan dengan hukum ekologi. Jika tidak demikian, lambat tapi pasti hutan kita itu akan hancur, dan kita semua juga akan mengalami hal yang sama. (H. Joni, MH. MKn. MP.)

Penulis adalah Pengamat Sosial, Hukum, dan Kehutanan serta Notaris di Sampit

 


Sumber : radarsampit.net

Artikel keren lainnya:

Belum ada tanggapan untuk "Memperdaya atau Memberdayakan Hutan"

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.