Beranda · Banjarmasin · Palangkaraya · Pangkalan Bun

Seret Pejabat Terlibat, Kejaksaan Didesak Ungkap Dugaan KKN di PPM


SAMPIT, Kejaksaan Negeri (Kejari) Sampit didesak segera mengungkap dugaan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam pengelolaan Pusat Perbelanjaan Mentaya (PPM) Sampit. Masyarakat berharap penyidik bisa membongkar praktik merugikan daerah tersebut dan menyeret siapapun yang bersalah, termasuk jika itu ada pejabat.


Fachri Mashuri, advokat yang dipercaya menjadi juru bicara dan penasihat hukum pedagang di PPM mengatakan, dugaan KKN di PPM sebenarnya sudah menjadi rahasia umum. Diduga, praktik itu sudah terjadi sejak awal PPM didirikan, dimana banyak oknum pejabat yang mengapling toko-toko di pasar terbesar di Kotim itu, kemudian memperjualbelikannya. Tidak heran jika kemudian ada dugaan pula terjadi KKN berupa tidak disetornya retribusi sejumlah toko.


Fachri meminta penyidik Kejari Sampit bergerak cepat membongkar kasus ini sehingga bisa segera dituntaskan dan dibuktikan apakah ada terjadi KKN atau tidak. Dia menyarankan agar semua pejabat yang terkait atau mengetahui informasi terkait pengelolaan PPM, segera dipanggil dan dimintai keterangan..


“Jadi seharusnya Kejari juga memanggil dan memeriksa kepala Dinas Pasar yang sekarang dan kepala Dinas Pasar terdahulu dan beberapa pejabatnya untuk diperiksa. Sebenarnya tidak sulit jika Kejari benar-benar serius memberantas korupsi yang terjadi di PPM tersebut, karena itu para pedagang pun berharap kasus ini bisa diungkap hingga tuntas. Mereka juga ingin melihat sampai di mana kepiawaian penyidik Kejari ini,” paparnya kemarin(1/10).


Menurut Fachri, masyarakat, khususnya para pedagang di PPM sudah mengetahui bahwa selama ini ada sejumlah pejabat yang mengapling toko-toko di PPM, kemudian memperjualbelikannya kepada para pedagang yang ingin menempati. Sebagai mediator atau broker toko tersebut, menurutnya, tidak lepas dari oknum pejabat sendiri yang lebih tahu dan dekat dalam teknis pengelolaan toko di PPM tersebut.


Sementara itu, Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Gerbong Kepentingan Rakyat (Bongkar) Kotim Audy Valent mendesak agar permasalahan tunggakan pengelola Citra Fried Chicken (CFC) tetap ditagih, meski pihak CFC sudah membantah masalah kewajiban itu. Menurutnya, tunggakan itu cukup besar sehingga bisa menjadi pemasukan lumayan bagi daerah.


“Hak pemakaian berakhir pada tanggal 15 April 2009, dan yang bersangkutan tidak mengajukan perpanjangan, sementara penyerahan baru pada bulan Juli 2012. Padahal menurut perjanjian awal pada pasal 8 yang juga diaktenotariskan bahwa yang bersangkutan harus mengajukan perpanjangan jika ingin terus, minimal tiga bulan sebelum masa penempatan habis. Kemudian pada pasal 12 isi perjanjian, tertulis juga bahwa adanya keterlambatan penyerahan yang bersangkutan dikenakan denda Rp 100 ribu per bulan dan nilainya adalah sebesar Rp 117 juta. Dan ini merupakan denda, yang juga belum dibayarkan kepada pemerintah daerah,” paparnya.


Kemudian untuk retribusi los PPM, khusus yang dikenakan kepada pihak CFC, Audi membeberkan bahwa ada ditetapkan retribusi khusus yang ditetapkan oleh Pemkab dalam akta perjanjian bersama notaris. Perhitungannya, luas ruang pujasera di PPM adalah 11,5 meter x 13 meter sama dengan 149,5 meter persegi. Kemudian sesuai dengan Perda Nomor 2 Tahun 2004 yang mengatur restribusi pasar, dalam satu hari dikenakan Rp 550 rupiah per hari. Sehingga bagi CFC, harus membayarkan retribusi per hari sebesar 149 meter persegi x Rp 550 yaitu Rp 82.225. Sedangkan jika satu bulan dikenakan sebesar Rp 2.466.750. “Namun karena ada perjanjian khusus itu, CFC saat itu hanya dikenakan sebesar Rp 1.650.000 per bulan,” tambahnya.


Dengan adanya perjanjian khusus tersebut, Audi menyampaikan telah terjadi selisih antara harga sewa yang seharusnya dibayarkan dengan harga khusus yang diberikan pemda yaitu sebesasr Rp 816.750 ribu dan pihak CFC disewakan tempat itu selama 8 tahun, dengan nilai Rp 78 juta lebih. “Ini baru satu contoh saja, belum lagi kios-kios lainnya. Jadi siapa yang selama ini memakan dan menggelapkan retribusi ini hendaknya pihak kejaksaan bisa mengungkap ini,” ujar Audi.


Pihaknya menduga ada wanprestasi atau debitur lalai terhadap pasal perjanjian sewa-menyewa ruang PPM. Selain itu juga diduga ada penyalahgunaan wewenang dengan tanpa dasar yang jelas menggratiskan sewa kepada badan usaha yang berorientasi profit pada saat itu.


“Selain itu diungkapkannya, bahwa pihaknya menemukan ada kejanggalan dalam pembutan surat perjanjian dan permohonan dari penyewa. Kami menduga ada rekayasa data, yaitu perjanjian dibuat sebelum ada surat permohonan atau permohonan dibuat belakangan setelah ada perjanjian dan ini jelas ada tanggalnya tertera,” pungkas Audi.


Terkait polemik utang CFC, sebelumnya pemilik CFC Ira Norhawaty membantah pihaknya mangkir dan tidak memenuhi kewajiban untuk membayar uang tebusan tempat senilai Rp 451 juta. Menurutnya, dalam perjanjian awal dengan Pemkab, pihaknya tidak disebutkan harus membayar sebesar itu setelah kontrak perjanjian habis. Adanya kewajiban itu baru diketahui pada 2010.


“Waktu itu (tahun 2004) kami mengajukan permohonan untuk menempati lokasi itu dan disetujui oleh bupati (Wahyudi K Anwar). Waktu itu diserahkan ke kita pengelolanya, cuma dalam bentuk los dan kita yang harus membangunnya lagi (sekat ruangan) dan biayanya ditanggung CFC. Lalu (biaya yang ditanggung) itu dikompensasi dengan hak pemakaian saya selama 5 tahun, jadi tak ada kewajiban saya harus bayar,” tegasnya.


Menurutnya, dalam perjanjian dengan Pemkab, pihaknya hanya diwajibkan membayar retribusi sebesar Rp 1.650.000 per bulan. Di luar itu, pihaknya juga wajib membayar retribusi lainnya sebesar Rp 400 ribu, sehingga totanya mencapai Rp 2.050.000.


“Kalau harus diberi nilai sebesar Rp 451 juta, saya tak sanggup, lebih baik saya mundur saja dari situ. Terakhir saya memenuhi kewajiban saya membayar retribusi pada Juli lalu,” katanya.


Menurut Ira, pihaknya sempat mempertanyakan dasar yang mengharuskan pihaknya membayar ratusan juta. Dari klarifikasi pihaknya, Dinas Pasar menyampaikan bahwa uang itu merupakan nilai tebusan hak pemakaian tempat yang dihitung dari ukuran luas penempatan lokasi tersebut.


“Kemudian saya runding sama suami. Tapi, seandainya saya dikasih tahu sejak perjanjian awal (terkait kewajiban membayar Rp 451 juta), mungkin tak seperti ini masalahnya,” katanya, seraya menambahkan, seharusnya pihaknya tidak dikenakan biaya yang sama dengan pedagang karena lokasi usahanya dibangun menggunakan biaya sendiri. (gus)








Sumber: radarsampit.net

Artikel keren lainnya:

Belum ada tanggapan untuk "Seret Pejabat Terlibat, Kejaksaan Didesak Ungkap Dugaan KKN di PPM"

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.