Banyak hal besar bermula dari mimpi. Pada mulanya mimpi itu dipandang oleh tidak sedikit orang sebagai sesuatu yang khayali. Misalnya tuntutan ‘Indonesia Merdeka Sekarang Juga’ yang dicetuskan oleh segelintir anak muda terdidik dipandang sebagai sesuatu yang tidak mungkin. Tuntutan agar hak-hak sipil untuk seluruh warga negara tanpa membedakan warna kulit yang dicetuskan dan diperjuangkan oleh Pendeta Martin Luther King Jr juga dipandang demikian. Tapi begitu idea tau mimpi ini menjadi milik seluruh atau mayoritas warga masyarakat, ide atau mimpi itu menjelma menjadi kekuatan material yang tidak terbendungkan lagi lajunya. Akhirnya kemerdekaan Indonesia dijelmakan dalam sebagai Republik Indonesia, hak-hak sipil yang diperjuangkan Martin Luther King Jr dan angkatannya menjadi kenyataan.
Mimpi kemerdekaan Indonesia, hak-hak sipil bagi semua warga negara Amerika Serikat, bisa berubah menjadi kekuatan material karena mimpi itu dipungut, disusun dan dirumuskan berdasarkan keadaan obyektif. Mimpi dalam hal ini berangkat dari kenyataan atau realita sehingga bisa disebut mimpi yang realis. Disebut mimpi karena ia belum terwujud dan masih merupakan wacana dan program. Tapi wacana dan program itu merupakan suatu jalan keluar terhadap keadaan yang menyesakkan dan memprihatinkan. Tidak manusiawi.
Dalam pengertian ini, mimpi dilahirkan oleh keadaan sosial, merupakan jawaban terhadap keadaan sosial yang getir. Pelaksanaannya dirancang secara bertahap dengan penuh keteguhan. Bukan mimpi yang terhenti pada kata-kata. Untuk menjawab ketidakadilan dan kegetiran sosial, kita tidak pernah kelebihan mimpi dan tidak pernah kelebihan upaya berjuang.Bahkan selalu tidak padan.
Mempunyai mimpi adalah suatu keniscayaan bagi seorang pimpinan apalagi bagi seorang pemimpin. Pada mimpi inilah lukisan besar masyarakat (society grand design) digambarkan sebagai arah yang ingin dijelang. Hanya saja di sini barangkali patut dibedakan antara mimpi dan iming-iming. Iming-iming tidak perlu dilaksanakan karena ia seperti makanan di atas perangkap. Dalam pilkada iming-iming dilakukan untuk meraup suara. Ketika sudah memenangkan pilkada, iming-iming tadi bisa dibuang karena sudah tidak berfungsi. Iming-iming baru dilakukan untuk membentuk citra egoistik sebagai persiapan menyertai pilkada berikut dan atau agar dikenang sebagai pahlawan pembangunan , dan sejenis citra egoistik lainnya. Walau pun perlu diingat bahwa kejahatan dan keburukan pun akan diingat orang. Iming-iming tidak mempunyai bagan masyarakat yang holistik. Ia sekedar umpan yang bisa diganti-ganti sesuai kehendak sehingga terkesan sekedar asal ucap.
Supian Hadi selaku Bupati Kotawaringin Timur (Kotim), nampaknya bukan seorang pemimpi tapi lebih dekat pada tukang iming-iming. Seandainya beliau bukan tukang iming-iming tentu ia akan melaksanakan janji pilkadanya menyelenggarakan sekolah gratis. Sekolah gratis merupakan wujud dari pemahaman bahwa pendidikan merupakan investasi jangka panjang dan bersifat strategis untuk membangun daerah sebagai daerah yang manusiawi. Apabila ia benar memandang pendidikan menempati kedudukan strategis dan sungguh-sungguh memikirkan hari esok Kotim selain ia memenuhi janji pilkadanya tentang sekolah gratis, Supian Hadi pun akan menangani masalah mutu guru yang menyangkut mutu sekolah. Sampai hari ini pengajar SD hingga sekolah menengah masih didominasi oleh lulusan SMA ,D1, D2 dan D3, tingkat di bawah standar nasional. Sekolah gratis, lebih-lebih jika tidak gratis, masalah mutu pendidikan patut diutamakan. Melakukan investasi manusia melalui pendidikan bermutu merupakan jembatan kokoh yang menyambung hari ini dan esok baik, wujud dari pembangunan berkelanjutan. Apakah bidang pendidikan sebagai sector strategis mejangkau jauh menjadi perhatian atau tidak, secara sederhana dijawab oleh alokasi anggara pendidikan Kotim untuk tahun 2013. Dari alokasi sebesar 30,50 % dari total APBD, sebesar 27% untuk belanja tidak langsung yang tidak bisa diutak-atik. Sisanya, hanya sekitar 3% untuk belanja langsung, yakni peningkatan fungsi dan mutu pendidikan. “Dari 3% anggaran untuk peningkatan fungsi pendidikan tersebut, sangat disayangkan hanya sebagian kecil yang termasuk program prioritas”, demikian penjelasan Kepala Bidang Pendidikan Dasar Disdikpora Kotim Marjuki (BorneoNews, 4 Oktober 2012). Keterangan Marjuki ini sekaligus menjawab apakah janji pilkada Supian Hadi tentang sekolah gratis akan ditepati atau tidak. Ditepati dan tidak ditepatinya janji menyangkut masalah kredibilitas.
Janji pilkada ini belum diwujudkan, Supian Hadi sudah melontarkan iming-iming baru berupa ide membangun universitas di Kotim model Universitas Darwan Ali (Unda). Saya tidak tahu, apakah Supian Hadi paham bagaimana membangun sebuah universitas yang bukan universitas-universitasan. Sepengetahuan saya, Sampit sekarang baru mempunyai sebuah Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) dan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum. Akademi atau sekolah tinggi kejuruan apa saja yang akan digabungkan oleh Supian Hadi sebagai fakultas-fakultas Universitas impiannya? Ataukah ia akan membangun universitas itu sekaligus dengan membangun fakultas-fakultasnya? Para pengajarnya dari mana? Tanpa menyiapkan fakultas-fakultas dan kelengkapannya, bagaimana sebuah universitas bisa didirikan? Barangkali universitas impian ini kelak sebuah universitas yang hanya mempunyai satu fakultas. Lalu untuk mengikuti mode kekinian di kalangan petinggi serta watak masyarakat baru tumbuh sangat mengkultusi gelar akademi (sekali pun gelar akademi itu serupa bentuk tanpa isi), universitas ini pula yang kelak menganugerahkan Supian gelar akademi Doktor Honoris Causa. Dari mana Supian Hadi memperoleh dana untuk membangun sebuah universitas bermutu sedangkan proyek-proyek mega yang dijanjikan (Bandara Haji Asan menjadi embarkasi cadangan keberangkatan jemaah haji tahun 2012, jalan tol Sampit –Bagendang, patung jelawat, patung Tjilik Riwut, memuluskan jalan dalam kota tahun 2913, sekolah gratis ) satu pun belum terwujud? Lalu fakultas-fakultas apa yang akan diadakan? Sebab fakultas-fakultas yang dibangun seniscayanya menjawab kepentingan daerah. Kotim sebagai pelabuhan utama di Kalteng niscayanya paling tidak memiliki fakultas perkapalan, fakultas teknik, fakultas perikanan, kehutanan, perikanan, fakultas sosial-budaya.
Bahwa sebuah kabupaten memiliki universitas, bukanlah hal baru terutama di Jawa. Tapi pembangunan universitas di kabupaten-kabupaten Jawa seperti Jember, Klaten, dan lain-lain didahului dengan tahapan-tahapan tertentu. Apakah Kotim sudah melakukan tahapan-tahapan ini. Bahwa kabupaten-kabupaten Kalteng memerlukan universitas atau perguruan tinggi, juga tidak dibantah, sekali pun sekarang sudah terdapat 31 universitas, perguruan tinggi dan akademi di Kalteng tapi dengan kualitas yang patut dipertanyakan.
Hanya nampaknya masalah mutu, dana, pengajar, fakultas dan lain-lain yang menyangkut pembangunan sebuah universitas, bagi Supian Hadi tidak penting karena wacana pembangunan universitas bukan didasarkan kepada kepentingan daerah melainkan “dilatarbelakangi oleh kabupaten tetangga yang merupakan pemekaran dari Kotim yaitu Seruyan yang telah lebih dulu memiliki universitas”(Radar Sampit, 29 September 2012). Dengan kata lain, muncul dari sikap ‘latah’. Tidak mau kalah dengan mertua. Bukan bertolak dari perlunya melakukan investasi sumber daya manusia untuk kepentingan Kotim.
Iming-iming yang disebut oleh Harian Radar Sampit sebagai ‘proyek impian’ seperti halnya dengan inspeksi mendadak yang sering sekali dilakukan oleh Supian Hadi (tanpa menyelesaikan soal setelah itu) jika dilihat dari upaya pencitraan agar selalu dibicarakan media, memang bisa dipahami oleh ilmu komunikasi.
Apabila membangun barisan sumber daya manusia bermutu memang menjadi tujuan utama, niscayanya janji pilkada tentang sekolah gratis dilaksakanakan. Kemudian, sesuai dengan anggaran, dilakukan penyediaan beasiswa untuk putera-puteri Kotim untuk belajar di universitas-universitas terbaik dalam dan luar negeri seperti yang dilakukan oleh Aceh, Kalimantan Barat, Manado atau oleh Tjilik Riwut semasa ia menjadi gubernur Kalteng. Beasiswa diberikan untuk bidang-bidang yang diperlukan untuk pembangunan Kotim serta dilakukan secara terencana. Penyediaan beasiswa terancang ini sangat mungkin dilakukan mengingat jumlah perusahaan besar swasta (PBS) yang besar dengan dana CSR mereka di Kotim. Cara ini lebih praktis dilakukan sebelum didirikannya universitas, dana pun terjangkau oleh pemerintah daerah tanpa menciutkan anggaran untuk bidang-bidang lain. Melalui cara ini juga tenaga pengajar untuk fakultas-fakultas disediakan tanpa usah tergantung pada tenaga luar.
Mengikuti cara berpikir dan semua kemauan besar yang nampak kurang realis serta proyek-proyek impian yang tidak terpusat dari bupati Kotim sekarang, saya khawatir megaproyek-megaproyek impiannya tidak akan ada satu pun yang terwujud. Sedangkan masa jabatannya maksimal tinggal tiga tahun.
Program tidak fokus tidak lain dari cerminan dari cara berpikir yang tidak membedakan antara kontradiksi pokok dan tidak pokok, yang primer dan sekunder. Sehingga yang sekunder atau tersier menjadi primer, yang primer menempati kedudukan terakhir sesuai selera dan instink. (***)
Sumber : radarsampit.net
Belum ada tanggapan untuk "Sebelum Universitas"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.