Ketidakharmonisan para pemimpin di Kotawaringin Barat (Kobar) tampaknya dirasakan hingga ke pedalaman. Seperti yang diakui oleh sejumlah warga Kecamatan Arut Utara (Aruta). Hiruk pikuk yang terjadi di ibu kota menggugah mereka untuk menggelar ritual menyanggar benua agar Kobar tetap aman dan tak ada lagi perselisihan.
ADA pemandangan yang berbeda di bilangan Jalan Natai Arahan, Kelurahan Baru, Kecamatan Arut Selatan (Arsel), Kabupaten Kobar, Jumat (28/9) lalu. Pada satu lokasi, persisnya di depan sebuah bengkel mobil, terlihat kerumunan puluhan orang sedang melakukan aktivitas ritual. Mereka menyebutnya menyanggar buana, ritual adat yang kerap dilakukan oleh para warga suku Dayak untuk memohon sesuatu berdasarkan keyakinannya.
Barangkali tak banyak yang tahu, ternyata di depan bengkel tadi ada sebuah sandung, tempat yang dikeramatkan masyarakat suku Dayak. Menurut cerita, tempat tersebut adalah lokasi pertemuan antara warga suku Dayak Aruta dengan anak raja dari Kerjaan Melayu Banjarmasin yang sengaja datang ke Pangkalan Bun untuk membangun kerajaan. Kedua belah pihak melakukan perjanjian di tempat tersebut dan sandung itu sebagai simbol perjanjian mereka.
Seperti mengenang masa perjanjian itu, pada ritual yang dilakukan secara sederhana itu pun dihadiri oleh sejumlah tokoh dan masyarakat dari berbagai suku. Terlihat sejumlah tokoh seperti David Dino, Yoker, Gusti Basri, Supriyanto dan beberapa tokoh Kobar lainnya. Terlihat pula Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kobar Abdul Wahab.
“Kita menggelar ini untuk mendoakan agar Kobar tetap aman, dijauhkan dari musibah, tidak ada lagi perselisihan dan masyarakatnya damai dan tenteram,” kata David Dino, tokoh masyarakat Dayak, Desa Sambi, Kecamatan Aruta, yang ikut mempimpin prosesi tersebut. Dia beralasan, belakangan Kobar seperti masih menyimpan masalah. Para pemimpin Kobar seolah tersegmentasi, sehingga perlu didoakan untuk mengharmoniskan kembali.
Tokoh pemuda Dayak Aruta, Yoker, mengatakan bahwa ritual tersebut baru pertama kali digelar di tempat itu. Dia juga memiliki alasan yang sama, yaitu agar Kobar khususnya, dan Kalimantan serta Indonesia pada umumnya, selalu aman dan damai.
Berbagai perkakas seperti sejajen, pohon atau tumbuhan yang dipercayai memiliki makna tersendiri, dan simbol-simbol lainnya sengaja dipasang di sekitar sandung, dimana menurut kepercayaan mereka bakal mengantarkan keinginan dan harapannya. “Seperti (tumbuhan) tabar, itu biar orang tidak benci dan dendam satu sama lain,” terang Yoker.
Tampak juga iringan musik ala suku Dayak ditabuh setelah prosesi ritual usai. Sejumlah orang terlihat asik berjoget ala mereka seolah menandakan semua senang dan damai. Prosesi juga sempat menjadi tontonan sejumlah warga sekitar, dan sejumlah warga yang melintas di Jalan Natai Arahan. Apalagi selama ini ritual itu baru diadakan di tempat tersebut.
“Kita menghargai dan apresiasi apa yang dilakukan mereka. Terlepas dari apapun tujuannya, ini juga salah satu budaya Kobar yang terus dilestarikan oleh mereka,” kata Kepala Disbudpar Kobar Abdul Wahab usai menyaksikan prosesi tersebut.
Berdasarkan sejarahnya, menurut tokoh masyarakat Kobar Supriyanto, saat itu nilai saling menghargai dan menghormati sangat dijunjung tinggi. “Contohnya, sebagai simbol perjanjian pun, mereka pada saat itu memotong ayam,” ujarnya. Isi perjanjian konon meliputi tiga hal yang intinya masyarakat melayu diperbolehkan di Pangkalan Bun, satu sama lain saling menghargai dan menghormati dan atau tidak saling mengganggu. (Tumarno/yit)
Sumber: radarsampit.net
Belum ada tanggapan untuk "Mendoakan Kobar Aman dan Tak Ada Lagi Perselisihan"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.